A. Muraqabah
Al-Muraqabah sebuah istilah dalam tasawuf yang mengambil isyarat dari ayat Al-Qur’an surat al-Ahzab 52:
£tb%x.ur ª!$# 4n=tã Èe@ä. &äóÓx« $Y7Ï%§ ÇÎËÈ
“Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu”.
Dan firman Allah dalam surat al-Alaq 14:
óOs9r& Ls>÷èt ¨br'Î/ ©!$# 3tt ÇÊÍÈ
“Tidaklah Dia mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”
Al-Muraqabah secara lughawy diartikan dengan kelanggegan dalam memperhatikan tujuan (al-Maqsud), sedangkan secara istilahi adalah kesadaran hati seseorang bahwa dia senantiasa diawasi oleh Allah baik perbuatan lahiriah maupun kondisi batinnya.
Pandangan ini sebagaimana tersebut dalam kitab Mau’izah al-Mu’minin[1] yang menjelaskan hakikat muraqabah sebagai berikut, muraqabah ialah kesadaran pengawasan oleh Dzat yang menjaga dirinya selalu menaruh perhatian kepada-Nya. Kondisi ini telah menjadi kondisi batin seseorang akibat buah dari ma’rifaat kepada-Nya serta menghasilkan berbagai amalan lahiriah dan kondisi batiniah dalam beramal.
Dari hakikat muraqabah diatas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1) pengawasan oleh Allah; 2) selalu menaruh perhatian kepada Allah; 3) kondisi batin; 4) buah dari ma’rifat kepada Allah dan 5) membuahkan amaliah lahiriah dan kondisi batin dalam beramal juga baik. Berikut keterangan mengenai lima hal tersebut.
1. Pengawasan oleh Allah. Sebagai hamba-Nya dia menyadari bahwa Allah selalu mengawai dirinya, sebagaimana firman diatas. Pengawasannya tidak hanya pada hal-hal yang lahiriah saja namun juga pada hal-hal yang batiniah bahkan sampai yang terlintas di dalam hati juga diketahui, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-A’la 7:
wÎ) $tB uä!$x© ª!$# 4 ¼çm¯RÎ) ÞOn=÷èt tôgyfø9$# $tBur 4s"÷t ÇÐÈ
“Kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang terssembunyi”.
2. Selalu menaruh perhatian kepada Allah. Sebagai hamba-Nya setelah menyadari bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah, maka dia berusaha (mujahadah) terus menerus untuk menaruh perhatian kepada Allah sehingga tidak ada waktu sedikitpun untuk tidak berdzikir, beramala dan berdoa kepada-Nya. Mujahadahnya sebagaimana firman-Nya dalam surat al-‘Ankabut 69:
z`Ï©!$#ur (#rßyg»y_ $uZÏù öNåk¨]tÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4 ¨bÎ)ur ©!$# yìyJs9 tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÏÒÈ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
3. Kondisi batin. Sebagai seorang hamba yang sudah menaruh perhatian kepada pengawasan al-Haqq maka dia selalu menjaga kondisi batinnya agar tetap stabil walaupun dihadapkan dengan ujian dan tantangan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Jin 16:
Èq©9r&ur (#qßJ»s)tFó$# n?tã Ïps)Ì©Ü9$# Nßg»oYøs)óV{ ¹ä!$¨B $]%yxî ÇÊÏÈ
“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”
Bahkan dia selalu mengatakan didalam hatinya bahwa semua datang dari al-Haqq dan kembali kepadan-Nya, semua itu yang tahu baiknya adalah al-Haqq, sebagaimana dia menyadari firman-Nya dalam surat Ali Imran 26:
È@è% ¢Oßg¯=9$# y7Î=»tB Å7ù=ßJø9$# ÎA÷sè? ù=ßJø9$# `tB âä!$t±n@ äíÍ\s?ur ù=ßJø9$# `£JÏB âä!$t±n@ Ïèè?ur `tB âä!$t±n@ AÉè?ur `tB âä!$t±n@ ( x8ÏuÎ/ çöyø9$# ( y7¨RÎ) 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇËÏÈ
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
4. Buah ma’rifah (kenal) kepada al-Haqq. Kesadaran bahwa dirinya senantiasa merasa diawasi oleh-Nya sebagai buah dari ma’rifah (kenal) nya dengan al-Haqq. Seorang yang kenal al-Haqq melalui dua jalan, yakni jalan bi al-burhan (melalui keteranga) yang diberikan oleh Allah melalui kitab Sucinya atau dengan memikirkan alam semesta. Kedua dengan jalan bi al-‘iyan (melalui lubuk hati paling dalam) yang diberikan oleh al-Haqq kepada hamba-hamba-Nya. Kedua jalan dipakai dan diijtihadi oleh para sufi yang khusus melalui jalan mujahadah yang berbuah musyahadah.
5. Membuahkan amaliah lahiriah dan kondisi batiniah dalam beramal yang baik dan bahkan memilih yang lebih baik. Oleh karena itu al-Ghazali mengingatkan agar seorang hamba dalam beramal memperhatikan tiga hal: a) sebelum beramal, b) pada saat beramal, dan c) usai beramal. Hal ini sesuai dengan isyarat doa nabi : “ Wahai Allah jadikanlah mata hatiku lebih baik dibandingkan lahiriahku dan jadikanlah lahiriahku baik”.
Do’a nabi ini mengisyaratkan tentang perlunya ketika beramal memperhatikan tiga hal sebelum beramal, ketika beramal dan sesudahnya.
a. Sebelum beramal hendaknya menata hati dengan niatyang baik dan tulus hanya karena al-Haqq dan mengharap ridha-Nya, bukan karena menuruti hawa nafsu atau mengikuti ajakan setan yang terkutuk. Sebagaiman firman Allah dalam surat al-Bayyinah 5:
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$# ÇÎÈ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[2], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
Selain itu dia harus bisa mensejajarkan ketulusannya dengan cahaya kebenaran. Apabila sudah sejajar antara keduanya maka dipersilahkan amalnya untuk diteruskan hingga selesai. Kalau ternyata di tengah-tengah beramalnya ada yang selain al-Haqq meliputi hatinya maka hendaknya merasa malu kepada al-Haqq dan dia harus mencemoohkan dirinya, mengapa yang selain al-Haqq yang lebih dicintai, lebih dihargai, lebih diperhatikan, dan bahkan lebih dituruti. Hendaknya dijelaskan pada dirinya sendiri betapa buruk niatnya itu dan alangkah lebih buruknya jika amalannya itu sudah diamalkan, padahal bukan karena al-Haqq. Maka hendaknya disadari bahwa dirinya benar-benar telah menjadi musuh dari dirinya sendiri.
b. Pada saat beramal hendaknya berusaha agar amaliahnya dilaksanakan sesempurna mungkin bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Beramal kebaikan yang sempurna sebagai contoh:
1. Ketika menunaikan shalat hendaknya ditunaikan yang sempurna dengan menunaikan shalat sunnah yang dianjurakan baik qabliyah maupun ba’diyah dan membaca wiridan usai shalat dan sekaligus menghadirkan semua potensi rohani seperti akal (cipto), qalbu (roso), dan nafsu (karso).
2. Ketika mengeluarkan sadaqah hendaknya dari harta yang halalan dan thayyiban yakni dari hasil usaha yang benar,bukan hasil melakukan dusta dalam usaha serta bukan dari hasil korupsi.
c. Usai beramal hendaknya menjaga amalnya agar membawa manfaat untuk dirinya dan orang lain sebagaimana contoh berikut:
1. Amalan shalat kita bisa berpengaruh pada perbuatan-perbuatan lain di masyarakat sebagai mana firman Allah dalam surat al-‘ankabut 45:
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur
“dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar”.
2. Amal shadaqah kita hendaknya jangan dirusakkan sendiri atau karena orang lain maka amalnya menjadi rusak sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah 264:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sF{$#ur É©9$%x. ß,ÏÿYã ¼ã&s!$tB uä!$sÍ Ä¨$¨Z9$# wur ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. Ab#uqøÿ|¹ Ïmøn=tã Ò>#tè? ¼çmt/$|¹r'sù ×@Î/#ur ¼çm2utIsù #V$ù#|¹ ( w crâÏø)t 4n?tã &äóÓx« $£JÏiB (#qç7|¡2 3 ª!$#ur w Ïôgt tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇËÏÍÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.
3. Ketika usia menunaikan haji hendaknya di jaga agar menjadi haji mabrur yakni haji yang bisa menjadikan amalan sesudah haji lebih baik dibandingkan dengan amalan sebelumnya. Sebagaimana sabda Rasul SAW:
“Haji yang mabrur tidak pahala baginya kecuali surga”
Menghasilkan kemampuan untuk mengevaluasi diri (al-Muhasabah) usia beramal dengan maksud agar dia bisa menjadikan amalnya ke depan lebih baik, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hasyr 18:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Setiap hamba yang beriman selalu muhasabah agar kualitas kuantitas amaliahnya terus meningkat dengan jalan meneliti keadaan jiwa dan diri, setiap hembusan nafas yang dikeluarkan setiap gerakan tubuh yang dilakukan, semuanya harus ada tujuan untuk kemanfaatan manusia, karena Nabi Muhammad mengatakan:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak membawa manfaat pada manusia yang lain”.
Dengan demikian, dia menjadi seorang yang teramat bahagia di dunia dan akirat karena senang melakukan perhitungan amaliahnya pada saat ini sebelum diperhitungkan oleh Allahpada hari kiamat nanti.
B. Mahabbah
Al-Mahabbah dalam kajian ini dibedakan dengan Al-Mawaddah. Namun secara bahasa keduanya sama yakni sama-sama bermakna cinta. Hanya Al-Mahabbah secara khusus disebut sebagai cinta antara hamba dengan Allah atau sebaliknya cinta Allah kepada hamba-Nya. Sedangkan al-Mawaddah adalah cinta antar hamba Allah. Al-Mahabbah dalam pengertian cinta antar hamba dan Allah atau sebaliknya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-Imran 31:
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósã ª!$# öÏÿøótur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRè 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sedangkan al-Mawaddah dalam pengertian cinta kasih antar hamba Allah sebagaimana firman-Nya dalam surat ar-Rum 21:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Al-Mahabbah dalam kaitannya dengan pandangan sufi sebagai salah satu maqam dari maqamat dalam tasawuf adalah kecintaan salik kepada Dzat Yang Maha Besar (al-Haqq) dalam segala macam ibadah Ilahiyah maupun mu’amalah insaniah. Sufi melihat setiap orang beribadah memiliki latar belakang dan tujuan yang berbeda. Ada kalanya mereka beribadah untuk mencapai surga dan ada kalanya supaya terjauhkan api neraka. Para sufi berpandangan bahwa kalau mereka beribadah tujuannya untuk mencapai surga maka seperti ibadahnya pegawai atau karyawan yang rajin bekerja supaya naik pangkat dan naik gajinya, sedangkan kalau ibadahnya agar terjauhkan dari neraka maka seperti ibadahnya seorang budak belian mereka mau bekerja dengan baik karena takut dengan ancaman cambuk atau pemecatan yang dilakukan majikan. Ibadah yang baik dalam pandangan mereka adalah ibadah yang karena cinta (Al-Mahabbah) kepada Dzat Yang Maha Benar, tidak karena surga atau neraka. Karena kalau beribadah dengan latar belakang cinta maka al-Haqq mencintai mereka dan mereka mencintai al-Haqq. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Maidah 54:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?öt öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZÏ t$öq|¡sù ÎAù't ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”.
Kecintaan salik kepada al-Haqq hanya dapat dibuktikan tidak hanya dengan menunaikan shalat fardhu saja dalam beribadah Ilahiyah maupun dalam muamalah insaniah, namun dia lebih banyak menuaikan yang nafilah (suka rela) sebagaimana sabda rasul:
“Dan hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan menunaikan fardhu melainkan cinta kepada-Ku, dan hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan nafilah (suka rela) sehingga mencintainya. Siapa yang Aku cintai maka Aku selalu mendengar, memperhatikan, mengulurkan tangan dan menjadi penopangnya”
Dan kecintaan al-Haqq kepada hamba-Nya disertai kecintaan penghuni langit yang lain sebagaimana sabda rasul:
“Apabila Allah mencintai seorang hamba maka Allah berkata pada Jibril: Aku mencintai seseorang, maka cintailah Jibril kepadanya. Kemudian Jibril memanggil penghuni langit: Bahwa Allah benar-benar mencintai seseorang maka cintalah kamu semua kepadanya, maka penghuni langit cinta kepadanya kemudian meletakkan penerimaan (do’a) di bumi”.
Asal kata al-Mahabbah dalam pandangan sufi bermacam-macam diantaranya ada yang menyebutkan bahwa al-Hubb, namun dari bersihnya cinta, karena orang Arab mengatakan pada orang yang memiliki gigi yang putih dan mencorong dengan kalimat habbab al-asnan. Ada yang mengatakan al-Hubb berasal dari kata al-Hubbah sebagai sesuatu di atas air ketika hujan lebat, maka al-Mahabbah adalah terguncangnya hati ketika bersin dan tergila-gilanya untuk bertemu dengan yang dicintai. Di samping itu, ada yang mengatakan bahwa kata al-hubb berasal daari kata al-habb sebagai jama’ dari kata habbah (biji). Sedangkan biji hati adalah potensinya. Maka al-hubb disebut dengan habban karena nama dari tempatnya.
Sedangkan secara istilah para sufi memiliki pandangan yang berbeda, di antaranya Abu Yazid al-Busthamy mengatakan bahwa al-Mahabbah adalah menganggap sedikit dari yang banyak yang datang dari diri sendiri dan menganggap banyak dari yang sedikit yang datang dari yang dicintai.
Sedangkan menurut Muhammad ibn ‘Ali al-Kattani mengatakan bahwa al-Mahabbah adalah mengutamakan yang dicintai.
Abu Abdillah al-Qurashi mengatakan bahwa hakikat cinta adalah hendaknya ketika engkau memberikan sesuatu pada yang dicintai, tidak ada sedikitpun bekas ada pada dirimu.
Al-Hubb terdiri dua huruf al-Ha’ dan al-Ba’. Sebagai isyarat bahwa orang yang cinta keluar dari ruh, badan dan hatinya, seperti ijma’ merupakan kesepakatan kaum bahwa al-Mahabbah adalah al-Muwafaqah (kesesuaian), dan kesesuaian yang sangat adalah kesesuaian dengan hati dan al-Mahabbah mengharuskan tiadanya penjelasan, karena seorang pecinta selamanya bersama dengan orang yang dicintai, sebagaimana hadist dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Nabi saw mengatakan kepadanya: bahwa seorang cinta pada suatu kaum bila bertemu dengan mereka.
Maka ukuran seorang sebagai pecinta al-Haqq adalah diukur keberadaan-Nya pada dirinya. Cinta kepada al-Haqq harus selalu dijaga melalui ilmu, ilmu tentang cinta dan melalui amal seperti berdoa sebagaimana doa para sufi:
“Wahai Allah jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk yang selalu cinta kepada-Mu langgeng cinta kepada-Mu, yang mendapatkan ni’mat dengan dekat kepada-Mu, limpahkanlah cahaya inayah-Mu kepadaku dan jadikanlah aku termasuk golongan wali-Mu dengan anugerah dan kemuliaan-Mu”.
Dan do’a Nabi SAW :
“Wahai Allah berilah saya rezeki cinta kepada-Mudan cinta orang yang membawa cinta kepada-Mu dan cinta pada sesuatu yang bisa mendekatkan cinta kepada-Mu dan jadikanlah cinta kepada-Mu lebih aku sukai dari pada air yang segar”.
C. Khauf
Khauf (takut) adalah ibadah hati, tidak dibenarkan khauf ini kecuali terhadap-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Khauf adalah syarat pembuktian keimanan seseorang. Allah berfirman: "Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." [QS. Ali Imran: 175].
Apabila khauf kepada Allah berkurang dalam diri seorang hamba, maka ini sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan dirinya terhadap Rabb-nya. Sebab orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling takut kepada-Nya.
Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya: pertama, pengetahuan seorang hamba akan pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya; kedua, pembenarannya akan ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan; ketiga, mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan taubatnya.
Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya: pertama, pengetahuan seorang hamba akan pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya; kedua, pembenarannya akan ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan; ketiga, mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan taubatnya.
Para ulama membagi khauf menjadi lima macam:
1. Khauf ibadah, yaitu takut kepada Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan menahan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di Tangan-Nya-lah kemanfaatan dan kemudharatan. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan khaufus-sirr.
2. Khauf syirik, yaitu memalingkan ibadah qalbiyah ini kepada selain Allah, seperti kepada para wali, jin, patung-patung, dan sebagainya.
3. Khauf maksiat, seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang diharamkan karena takut dari manusia dan tidak dalam keadaan terpaksa. Allah berfirman, "Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." [QS. Ali Imran: 175].
4. Khauf tabiat, seperti takutnya manusia dari ular, takut singa, takut tenggelam, takut api, atau musuh, atau selainnya. Allah berfirman tentang Musa, "Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya)." [QS. Al-Qashash: 18].
5. Khauf wahm, yaitu rasa takut yang tidak ada penyebabnya, atau ada penyebabnya tetapi ringan. Takut yang seperti ini amat tercela bahkan akan memasukkan pelakunya ke dalam golongan para penakut.
Khauf ini dapat menjadi kuat dan lemah tergantung pada keyakinan seseorang pada ALLAH SWT. Dan selain Khauf yang disebabkan takut pada hukuman sebagaimana diatas, ada pula Khauf yang disebabkan oleh karena takut akan kebesaran dan keagungan sesuatu. Jika manusia itu memahami begitu banyaknya maksiatnya yang akan dihadapkan pada ke-Maha Agungan ALLAH SWT dan ketidakbutuhan-NYA pada kita, maka akan timbullah rasa takut. Maka orang yang paling tinggi Khauf-nya adalah yang paling mengetahui dirinya dan penciptanya, firman ALLAH SWT :
“Sesungguhnya hanyalah yang paling takut pada ALLAH diantara hambanya adalah para ‘ulama’.” (QS. Faathir: 28)
Dampak dari Khauf yang benar adalah jika seseorang sudah benar pemahamannya, maka mulailah rasa Khauf masuk dihatinya dan berdampak pada pucatnya wajah, tangis, gemetar, dan dampaknya kemudian adalah meninggalkan maksiat, lalu komitmen dalam ketaatan, lalu bersungguh-sungguh dalam beramal.
Khauf ada yang berlebihan, moderat dan kurang. Yang berlebihan adalah yang mengakibatkan rasa putus asa dan berpaling dari taat, sementara yang kurang akan mengakibatkan tidak meninggalkan maksiat yang dilakukan. Sementara yang seimbang/moderat (I’tidaal) akan menimbulkan waspada, hati-hati (wara’), takwa, mujahadah, fikir, dzikir, kesehatan fisik dan kebersihan akal.
Khauf para salafus sholih bermacam-macam, ada yang takut meninggal sebelum bertaubat, ada yang takut dicoba dengan nikmat, ada yang takut bergeser dari istiqomah, ada yang takut su’ul khotimah, ada yang takut dahsyatnya berdiri dihadapan ALLAH SWT, ada yang takut dihijab tidak bisa melihat wajah ALLAH SWT, dan inilah takutnya para ‘aarifiin sementara yang sebelumnya adalah takutnya para zaahidiin dan ‘aabidiin. Para aarifiin ini takutnya murni kepada kehebatan dan keagungan ALLAH, sebagaimana firman-NYA:
“Dan ALLAH mempertakuti kamu dengan diri-NYA.” (QS ‘Aali Imraan 3/30)
Diantara mereka ada Abu Darda’ ra yang berkata: “Tak seorangpun yang merasa aman dari pengacauan syaithan terhadap imannya saat kematiannya.” Dan Sufyan ats-Tsauriy saat wafatnya menangis, maka berkata seseorang: “Ya Aba Abdullah! Apa anda punya banyak dosa?” Maka Sufyan mengambil segenggam tanah dan berkata: “Demi ALLAH dosaku lebih ringan dari ini, tetapi aku takut dikacaukan imanku sebelum kematianku.” Ada pula seorang Nabi yang mengadukan kelaparan dan kekurangan pakaiannya kepada ALLAH SWT, maka ALLAH SWT mewahyukan padanya: “Wahai hambaku, apakah engkau tidak ridha bahwa aku telah melindungi hatimu dari kekafiran selama-lamanya sehingga engkau meminta dunia kepada-KU?” Maka Nabi tadi mengambil segenggam tanah lalu menaburkannya diatas kepalanya (karena rasa syukurnya) sambil berkata: “Demi ALLAH, aku telah ridha ya ALLAH, maka lindungilah aku dari kekafiran.”
Keutamaan Khauf disebutkan dalam hadits Nabi SAW: “Berfirman ALLAH SWT: Demi Keagungan dan Kekuasaan-KU tidak mungkin berkumpul 2 rasa takut dalam diri hambaku dan tidak akan berkumpul 2 rasa aman. Jika ia merasa aman pada-KU di dunia maka akan aku buat takut ia di hari kiamat, dan jika ia takut pada-KU di dunia maka akan aman ia di akhirat.” (HR Ibnu Hibban 2494)
1. Takutnya para Malaikat : “Mereka merasa takut kepada Rabb-nya, dan mereka melakukan apa-apa yang diperintahkan ALLAH.” (QS An-Nahl 16/50).
2. Takutnya Nabi SAW. “Bahwa Nabi SAW jika melihat mendung ataupun angin maka segera berubah pucat wajahnya. Berkata A’isyah ra: “Ya Rasulullah, orang-orang jika melihat mendung dan angin bergembira karena akan datangnya hujan, maka mengapa anda cemas?” Jawab beliau SAW: “Wahai A’isyah, saya tidak dapat lagi merasa aman dari azab, bukankah kaum sebelum kita ada yang diazab dengan angin dan awan mendung, dan ketika mereka melihatnya mereka berkata: Inilah hujan yang akan menyuburkan kita.” (HR Bukhari 6/167 dan Muslim 3/26) Dan dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi SAW jika sedang shalat terdengar didadanya suara desis seperti air mendidih dalam tungku, karena tangisnya.
3. Khauf-nya shahabat ra. Abubakar ra sering berkata: “Seandainya saya hanyalah buah pohon yang dimakan.” Umar ra sering berkata: “Seandainya aku tidak pernah diciptakan, seandainya ibuku tidak melahirkanku.” Abu ‘Ubaidah ibnal Jarraah ra berkata: “Seandainya aku seekor kambing yang disembelih keluargaku lalu mereka memakan habis dagingku.” Berkata Imraan bin Hushain ra: “Seandainya aku menjadi debu yang tertiup angin kencang.”
4. Khauf-nya Tabi’iin. Ali bin Husein jika berwudhu untuk shalat pucat wajahnya, maka ditanyakan orang mengapa demikian? Jawabnya: “Tahukah kalian kepada siapa saya akan menghadap?” Berkata Ibrahiim bin ‘Iisa as Syukriy: “Datang padaku seorang lelaki dari Bahrain ke dalam mesjid saat orang-orang sudah pergi, lalu kami bercerita tentang akhirat dan dzikrul maut, tiba-tiba orang itu demikian takutnya sampai menghembuskan nafas terakhir saat itu juga.” Berkata Misma’: “Saya menyaksikan sendiri mau’izhoh Abdul Waahid bin Zaid disuatu majlis, maka wafat 40 orang saat itu juga dimajlis itu setelah mendengar ceramahnya.” Berkata Yaziid bin Mursyid: “Demi ALLAH seandainya Rabb-ku menyatakan akan memenjarakanku dalam sebuah ruangan selama-lamanya maka sudah pasti aku akan menangis selamanya, maka bagaimanakah jika ia mengancamku akan memenjarakanku didalam api?!”
Demikianlah Khauf para Malaikat, Nabi-nabi, ulama dan auliya’, maka kita lebih pantas untuk takut dibanding mereka. Mereka takut bukan karena dosa, melainkan karena kesucian hati dan kesempurnaan ma’rifah, sementara kita telah dikalahkan oleh kekerasan hati dan kebodohan. Hati yang bersih akan bergetar karena sentuhan kecil, sementara hati yang kotor tak berguna baginya nasihat dan ancaman.
D. Roja’
Adapun roja` secara bahasa artinya harapan/cita-cita; sedangkan menurut istilah ialah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Roja` merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali kepada Allah 'Azza wa Jalla. Memalingkannya kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa berupa syirik besar atau pun syirik kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap.
Roja (harapan/mengharap) tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali bila disertai amalan. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah: 218]. Allah juga berfirman, "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada tuhannya." [Al-Kahfi: 110].
Berkata Ibnul Qoyyim dalam "Madarijus-Salikin": "Orang-orang yang mengerti telah bersepakat bahwa roja` tidak akan sah kecuali jika dibarengi dengan amalan. Oleh karena itu, tidaklah seseorang dianggap mengharap apabila tidak beramal". Dengan demikian, roja` kepada Allah akan tercapai dengan beberapa hal, diantaranya: pertama, senantiasa menyaksikan karunia-Nya, kenikmatan-Nya, dan kebaikan-kebaikan-Nya terhadap hamba; kedua, jujur dalam mengharap apa yang ada di sisi Allah dari pahala dan kenikmatan; ketiga, membentengi diri dengan amal shaleh dan bergegas dalam kebaikan.
Ibnul Qayyim -rahimahullah- membagi roja` menjadi tiga bagian, dua di antaranya roja`,yang benar dan terpuji pelakunya, sedang yang lainnya tercela. Roja` yang menjadikan pelakunya terpuji, pertama: seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah, di atas cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahalaNya; kedua: seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya. Adapun yang menjadikan pelakunya tercela: seseorang terus-menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan; roja` yang seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
- Peranan roja’
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta.
- Roja’ yang terpuji
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka dan tercela.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
- Roja’ adalah ibadah
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57) Allah menceritakan kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah oleh kaum musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri mencari kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir dan takut tertimpa hukuman-Nya.
- Roja’ yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu…” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
- Mengendalikan roja’
Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.” Karena apabila dia berbuat taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.
Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya. Adapun pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh tetap tidak akan sembuh.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 58-59)
E. Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki, musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
Al-Musyahadah secara bahasa adalah menyaksikan sesuatu, sedangkan secara istilah adalah kelanggengan seseorang dalam melihat al-haqq dengan mata hati karena kebersihan hatinya melalui tazkiyah al-Nafs (penyucian nafsu yakni potensi untuk berbuat), tazkiyah al-Ruf (penyucian jiwa), dan tazkiyat al-Asrar (penyucian mata hati). Menurut para sufi al-Mushahadah adalah penglihatan spiritual Iliahi baik ketika ramai ataupun sendiri, tanpa bertanya bagaimana dan dengan cara apa. Terdapat dua macam musyahadah, pertama adalah musyahadah akibat dari iman yang sempurna (sihhah al-yaqin), dan kedua, adalah musyahadah akibat cinta yang membara terhadap kekasih.
0 komentar:
Posting Komentar